Jumat, 08 Desember 2017

Teaser



KyuYoung
Cho Kyuhyun & Choi Sooyoung



SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM [PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA]



PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA


Makalah:
Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Isnanita Noviya Andriyani, S. Pd. I., M. Pd. I.


Disusun Oleh:

Achsana Amalia                         15812651
Faridah                                       16812682
Kholillah Khaeruddin                15812579
Rita Nurul Hikmah                    15812559
Sri Sayekti                                  15812553



PROGRAM STUDI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MASJID SYUHADA
YOGYAKARTA
2017


KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat limpahan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah dengan judul “PENDIDIKAAN ISLAM PADA MASA ORDE LAMA”.
Kami selaku penulis makalah mengucapkan terima kasih kepada Ibu Isnanita Noviya Andriyani, S. Pd. I., M. Pd. I., selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang telah memberikan kepercayaan untuk membuat laporan ini, serta orang tua yang senantiasa berdoa untuk kelancaran tugas kami.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih banyak kekurangan dan tidak lepas dari kesalahan. Dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah yang dibuat bisa memberikan suatu manfaat bagi kami dan para pembaca serta dapat dijadikan referensi untuk penulisan makalah di waktu yang akan datang.








Yogyakarta, 06 Desember 2017


Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .....................................................................................  1
B.     Rumusan Masalah ...............................................................................  2
C.     Tujuan  .................................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Islam Zaman Orde Lama ..................................................  3
B.     Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Dalam Bidang Pendidikan Islam            10
C.     Pengembangan dan Pembinaan Madrasah Zaman Orde Lama............ 14
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................  17
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................  18


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah erat hubunganya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia.[1] Hal ini disebabkan karena pemeluk agama baru tersebut sudah barang tentu ingin mempelajari dan mengetahui lebih mendalam tentang ajaran-ajaran Islam. Ingin pandai shalat, berdoa, dan membaca Al Quran yang menyebabkan timbulnya proses belajar, meskipun dalam pengertian yang amat sederhana. Dari sinilah mulai timbul timbul pendidikan Islam, di mana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah. Langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi podok pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang tertatur sebagaimana yang dikenal saat ini.[2]
Secara garis besar fase-fase sejarah pendidikan Islam di Indonesia antara lain:
1.      Periode masuknya Islam ke Indonesia
2.      Periode pengembangan melalui adaptasi
3.      Periode pengembangan Kerajaan-kerajaan Islam
4.      Periode penjajahan Belanda
5.      Periode penjajahan Jepang
6.      Periode Kemerdekaan I (Orde Lama)
7.      Periode Kemerdekaan II (Orde Baru/Pembangunan).
Berdasarkan periodisasi di atas, maka penulis akan membahas tentang Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945-1965.




B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana Pendidikan Islam Zaman Orde Lama?
2.      Apa saja kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pendidikan Islam?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah antara lain:
1.      Untuk mengetahui Pendidikan Islan Zaman Orde Lama.
2.      Untuk mengetahui kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam bidang pendidikan Islam.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Islam Zaman Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) pada tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa:
Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Kenyataan tersebut timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Pada zaman penjajahan Belanda, pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam sangat sempit. Dalam hal ini, minimal ada dua hal yang menjadi penyebabnya:
1.      Sikap dan kebijaksanaan pemerintah kolonial yang sangat diskriminatif terhadap kaum muslimin.
2.      Politik nonkooperatif para ulama terhadap Belanda yang menfatwakan bahwa ikut serta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya, adalah suatu bentuk penyelewengan agama. Mereka berpegang teguh pada salah satu hadist Nabi Muhammad SAW. Yang artinya “Barang siapa menyerupai suatu golongan maka ia termasuk ke dalam gologan itu.” Hadits inilah yang melandasi ulama pada saat itu.
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan mengapa kaum muslimin Indonesia tercecer dalam segi intelektualitas dibandingkan dengan golongan lain. Akan tetapi, keadaan berubah secara radikal setelah tercapainya kemerdekaan Indonesia, sebab kemerdekaan membuahkan sesuatu yang besar manfaatnya bagi kaum muslimin, terutama di bidang pendidikan modern.
Pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Departemen Agama, dimana tugasnya mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan mengurusi sekolah agama seperti pondok pesantren dan madrasah. Telah ada Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, panitia ini merekomendasikan mengenai sekolah-sekolah agama, dalam laporannya tanggal 2 Juni 1946 yanng berbunyi: “bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain” (Hanun Asrohah. 1999: 177).
Selanjutnya eksistensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950, yang sampai sekarang masih berlaku, dimana dinyatakan bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Langkah demi langkah pada akhirnya pendidikan Islam semakin terintegrasikan secara total dalam pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan agama yang telah terintegralkan dengan pendidikan nasional akhirnya mendapat kekuatan hukum dalam Rumusan Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang berbunyi: “bahwa pendidikan nasional ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan mengusahakan perkembangan kehidupan beragama, kehidupan yang berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, ketrampilan, daya estetik, dan jasmaninya sehingga ia dapat mengembangkan dirinya bersama-sama dengan sesama manusia membangun masyarakatnya, serta membudayakan alam sekitar” (Hanun Asrohah. 1999: 178). Dikukuhkan dalam GBHN berdasarkan TAP MPR No. II/1983.
Sementara itu, mengenai organisasi Islam dan kegiatannya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari bentuk, sistem, dan cita-cita bangsa Indonesia yang baru merdeka. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan yang berkepanjangan, terutama melalui berbagai organisasi pergerakan baik sosial, agama, maupun politik. Oleh karenanya, wujud kemerdekaan adalah cermin cita-cita perjuangan bersama dari bangsa Indonesia. Dengan demikian, bentuk sistem dan tata cara pemerintahan disusun atas adasar cita-cita dan kehendak bangsa Indonesia.
Dasar negara yang telah disepakati bersama saat mendirikan negara adalah Pancasila, yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan batang tubuh UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 inilah yang kemudian dijadikan titik tolak pengeloaan negara dalam membangun bangsa Indonesia.
Sesuai dengan sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan beragama di Indonesia secara konstitusional dijamin keberadaannya seperti termaktub pada pasal 29 UUD 1945, yaitu:
1.      Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaan itu.[3]
Sebagai jaminan konstitusional ini diperlukan suatu konsekuensi bahwa pemerintah tidak hanya menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut kepercayaannya melainkan juga sekaligus menjamin, melindungi, membina, mengembangkan serta memberi bimbingan dan pengarahan agar kehidupan beragama lebih berkembang, bergairah dan semarak serasi dengan kebijaksanaan pemerintah dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila.[4]
Meskipun Indonesia baru saja merdeka dan sedang menghadapi revolusi fisik, namun pemerintah sudah berbenah diri, terutama masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan menentukan. Untuk itu, dibentuklah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Dengan dibentuknya Kementerian PP dan K tersebut maka diadakanlah berbagai usaha, terutama mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan yang baru.
Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K)—Ki Hajar Dewantara mengeluarkan Instruksi Umum yang isinya memerintahkan kepada semua kepala sekolah dan guru, untuk:
1.      Mengibarkan Sang Merah Putih setiap hari di halaman sekolah.
2.      Menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
3.      Menghentikan pengibaran bendera Jepang, serta menghapuskan nyanyian Kimigayo lagu kebangsaan Jepang.
4.      Menghapuskan pelajaran Bahasa Jepang, serta segala upacara yang berasal dari pemerintah bala tentara Jepang.
5.      Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid-muridnya.
Seirama dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, maka sejarah kebijakan Pendidikan di Indonesia termasuk di dalamnya Pendidikan Islam tidak lepas dari kurun waktu tertentu yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa penting dan tonggak sejarah sebagai pengingat. Oleh karena itulah perjalanan sejarah Pendidikan Islam dengan masa Orde Lama (Orla), akan berbeda dengan tahun 1965 sampai sekarang yang lebih dikenal dengan nama Orde Baru (Orba).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, terjadi perubahan di berbagai aspek, tidak hanya terjadi dalam bidang pemerintahan, tetapi juga dalam pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka.
Untuk mengadakan penyesuaian cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan mengalami perubahan, terutama dalam landasan idiil, tujuan pendidikan, sistem persekolahan dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia.
Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi:
1.      Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2.      Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Oleh sebab itu, tidak dikenal lagi pembatasan pembinaan pendidikan yang disebabkan perbedaan agama, sosial, ekonomi dan golongan. Dengan demikian, setiap anak Indonesia dapat memilih tempat belajar sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.[5]
Pada masa Orde Lama (Orla) ini, berbagai peristiwa dialami oleh bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan, yakni:
1.      Dari tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan adalah UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
2.      Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), di negara bagian timur dianut suatu sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.
3.      Pada tanggal 17 agustus 1950, dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, landasan idiil pendidikan UUDS RI.
4.      Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan R.I. kembali ke UUD 1945 dan menetapkan Manifesto Politik R.I. menjadi Haluan Negara. Di bidang pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Panca Wardhana.
5.      Pada tahun 1965 , sesudah peristiwa G 30S/PKI kita kembali lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum tersebut maka pada bulan Desember 1946 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan Menteri Agama yang mengatur pelaksanann pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada di bawah kementerian PP dan K.
Maka sejak itulah terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu Pendidikan Agama dan Pendidikan Umum. Di satu pihak, Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama, baik di sekoah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum. Dan di pihak lain Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan mengelola pendidikan pada umumnya dan mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan sistem Pendidikan Nasional. Keadaan seperti ini sempat dipertentangkan oleh pihak tertentu yang tidak senang adanya pendidikan agama terutama golongan komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya Islam terpisah dari pendidikan.
Selanjutnya Pendidikan Agama ini diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada Bab XII pasal 20, yaitu:
1.      Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orangtua murid menetapka apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2.      Cara penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Sementara itu, pada Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor  1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor KI/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), diatur tentang Peraturan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah, yaitu:
Pasal 1 : Di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberi pendidikan agama.
Pasal 2 : 
1.      Di sekolah-sekolah rendah pendidikan dimulai pada kelas 4: banyaknya 2 jam dalam satu minggu.
2.      Di lingkungan yang istimewa, pendidikaan agama dapat dimulai pada kelas 1, dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan. Tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah di lain-lain lingkungan.
3.      Di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas, baik sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap minggu.
Pasal 3 :
1.      Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing.
2.      Pendidikan agama baru diberikan pada suatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang, yang menganut suatu macam agama.
3.      Murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain dari agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu.
Dalam bidang kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaan-penyempurnaan. Untuk itu, dibentuk suatu kepanitiaan yang dipimpin oleh K.H. Iman Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Pada bulan Desember 1960 saat sidang MPRS, diputuskan sebagai berikut: Melaksanakan Manipol Usdek di bidang Mental/Agama/Kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia, serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II pasal 2 ayat 1). Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai Sekolah Rendah (Dasar sampai Universitas), dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.
Begitulah keadaan pendidikan silam dengan segala kebijaksanaan pemerintah zaman Orde Lama. Pada akhir Orde Lama tahun 1965 lahir semacam kesadaran baru bagi umat Islam, dengan timbulnya minat yang mendalam terhadap masalah-masalah pendidikan. Dalam hubungan ini Kementerian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai berikut:
1.      Pesantren Indonesia klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya hanya terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah. Guru maupun para muridnya merupakan suatu masyarakat yang hidup serta bekerja sama, mengerjakan tanah milik pesantren untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
2.      Madrasah Diniyah, yaitu sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun. Pelajaran berlangsung pada sore hari di dalam kelas, kira-kira 10 jam seminggu. Untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah (4 tahun pada Sekolah Menengah). Setelah menyelesaikan pendidikan menengah negeri, murid-murid ini dapat diterima pada pendidikan agama tingkat akademi.
3.      Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern, yang bersamaan dengan pengajaran agama juga diberikan pelajaran umum. Biasanya tujuannya adalah menyediakan 60%-65% dari jadwal waktu untuk mata pelajaran umum, dan 35%-40% untuk mata pelajaran agama.
4.      Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu Sekolah Dasar Negeri enam tahun, di mana perbandingan umum kira-kira 1:2. Pendidikan selanjutnya dapat diikuti pada MTsN, atau (sekolah tambahan tahun ketujuh) murid-murid dapat mengikuti pendidikan keterampilan, misalnya pendidikan Guru Agama untuk Sekolah Dasar Negeri, setelahnya dapat diikuti latihan lanjutan dua tahun untuk menyelesaikan Kursus Guru Agama untuk Sekolah Menengah.
5.      Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama dua tahun, yang memberikan latihan keterampilan sederhana. MIN 8 tahun ini merupakan pendidikan lengkap bagi para murid yang biasanya akan kembali ke kampungnya masing-masing.
6.      Pendidikan Teologi tertinggi, pada tingkat Universitas diberikan sejak tahun 1965 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian atau dua Fakultas di Yogyakarta dan dua Fakultas di Jakarta.[6]

B.     Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Dalam Bidang Pendidikan Islam
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia Merdeka. Tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam, bahkan berusaha untuk menjajah kembali. Pada bulan Oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabilillah terhadap Belanda/Sekutu. Hal ini berarti memberi fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang berarti pahlawan jihad yang berkategori sebagai syuhada perang. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan.
2.      Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan.
3.      Musuh-musuh RI (Belanda/Sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
4.      Kewajiban-kewajiban tersebut di atas adalah fi sabilillah.
Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut:
1.      Para Ulama santri-santri dapat mempraktikkan ajaran jihad fi sabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci fikih di pondok atau madrasah.
2.      Petanggungjawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat= Sekolah Dasar) sampai VI. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama mulai kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantoro dari Departeme P&K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya mengatur pelaksanann dan materi pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 ketika kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P&K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951. Isi ialah:
1.      Pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
2.      Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya, di Sematera, Kalimantan, dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
3.      Di sekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
4.      Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orangtua/wali.
5.      Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan menteri pendidikan agama ditanggug oleh Departemen Agama.
Dalam bidang kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaan-penyempurnaan. Untuk itu, dibentuk suatu kepanitiaan yang dipimpin oleh K.H. Iman Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Pada bulan Desember 1960 saat sidang MPRS, diputuskan sebagai berikut: Melaksanakan Manipol Usdek di bidang Mental/Agama/Kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia, serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing (Bab II pasal 2 ayat 1). Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata peljaran di sekolah-sekolah umum, mulai Sekolah Rendah (Dasar sampai Universitas), dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.
Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi. Pada waktu itu sedang dilakukan upaya membersihkan sisa-sisa G. 30 S/PKI. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, maka sejak 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.
Kehidupan sosial, agama dan politik di Indonesia sejak tahun 1966 mengalami perubahan yang sangat besar. Periode ini disebut Zaman Orde Baru dan zaman munculnya angkatan baru yang disebut Angkatan ’66. Pemerintah Orde Baru bertekad sepenuhnya untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan rakyat berusaha membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, yakni membangun bidang rohani dan jasmani untuk kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat sekaligus (simultan). Oleh karena itu, Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan.
Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat (jenjang) pendidikan. Dalam GBHN itu dirumuskan sebagai berikut:
Bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia bercita-cita menuju kepada apa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan, dan kelarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti tersebut menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.[7]
Adapun sasaran pembangunan jangka panjang di bidang agama ialah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupannya yang selaras, seimbang, dan serasi antara lahiriah dan rohaniah, mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong seingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
Dalam pola umum Pelita IV, bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dinyatakan antara lain sebagai berikut:
Kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakaan. Di usahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah Dasar sampai dengan Universitas-universitas negeri.
Kesimpulannya adalah bahwa ditinjau dari segi falsafah negara Pancasila, dari konstitusi UUD 1945, dan dari keputusan-keputusan MPR tentang GBHN, maka kehidupan beragama dan pendidikan agama di Indonesia sejak proklamasi tahun 1945 sampai Pelita IV tahun 1983 semakin mantap.
Teknik pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum mengalami perubahan-perubahan tertentu sehubungan dengan berkembangnya cabang ilmu pengetahuan dan perubahan sistem proses belajar dan mengajar. Misalnya tentang materi pendidikan agama diadakan pengintegrasian dan pengelompokan yang lebih terpadu dan diadakan pengurangan alokasi waktu.

C.    Pengembangan dan Pembinaan Madrasah Zaman Orde Lama
Mempelajari perkembangan madrasah tentunya berkaiatan erat dengan peran Departemen Agama sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian secara terus-menerus dari kalangan pengambil kebijakan. Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah
Madarasah sebagai penyelenggara pendidikan di akui secara formal pada tahun 1950.UU No.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa “belajar di sekolah agama telah mendapat pengakuan dari Departemen agama dan sudah di anggap memenuhi kewajiban belajar”. Untuk mendapat pengakuan dari departemen agama,madarasah harus memberikan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling tidak 6 jam dalam seminggu.
Jenjang pendidikan dalam system madarasah terdiri dari 3 jenjang yaitu    yang pertama Madarasah ibtidaiyah yang di setarakan dengan  sekolah dasar (SD) dengan lama pendidikan 6 tahun,yang ke dua Madarasah Tsanawiyah pertama (MTs) yang setara dengan Sekolah Menengah Pertama(SMP) dengan lama 4 tahun. Dan ke tiga Madarasah Tsanawiyah Atas atau Madarasah Aliyah (MA) yang setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan lama 4 tahun. Rumusan kurikulum seperti itu bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madarasah tidak hanya mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat pada madarasah yaitu pelajaran umum tidak akan mencapai tingkat yang sama bila di bandingkan dengan pendidikan umum
Perkembangan madarasah pada Orde Lama adalah berdirinya madarasah Pendidikan Guru Agama (PGA) yang sudah ada sebelum kemerdekaan terutama di wilayah Minangkabau dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuannya untuk mencetak tenaga-tenaga proposional yang siap untuk mengembangkan pendidikan madrasah sekaligus ahli agama yang proposional
Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari program Departemen Agama yang di tangani oleh Drs.Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan.Pada tahun 1950 bagian tersebut membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah professional keguruan:(1) Sekolah Guru Agama Islam(SGAI) dan sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI memiliki dua jenjang yaitu:(a).jangka panjang yang di tempuh salama 5 tahun untuk siswa tamatan SR/MI dan (b).jenjang jangka pendek yang di tempuh selama 2 tahun untuk lulusan SMP/MTs. Sedangkan  SGHAI di tempuh selama 4 tahun untuk lulusan SMP/MTs yang memiliki 4 bagian yaitu:
1.      Bagian “a” untuk mencetak guru kesustraan
2.      Bagian “b” untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti
3.      Bagian “c” untuk mencetak guru agama
4.      Bagian “d” untuk mencetak guru pendidikan agama
Pada tahun 1951 sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama 15 Pebruari 1951, ke dua madrasah tersebut di ubah namanya SGAI menjadi “PGA (Pendidikan Guru Agama)” dan SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama).
Pada masa H.M. Arifin Tam yang menjadi kepala “Jawatan Pendidikan Agama” adalah badan pengembanagan dari bagian pendidikan di Departemen Agama. Ketentuan-ketentuan tentang PGA dan SGHA di ubah.PGA yang 5 tahun menjadi 6 tahun,terdiri dari PGA pertama 4 tahun dan PGA atas 2 tahun. Sedangkan PGA jangka pendek dan SGHA di hapuskan. Sebagai pengganti SGHA bagian “d”didirikan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) dengan lama 3 tahun untuk PGA pertama.
Sedangkan Perguruan tinggi Islam khusus fakultas-fakultas  mulai mendapat perhatian pada tanggal 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII di pisahkan dan di ambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951 secara resmi di buka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN (perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) di bawah pengawasan Kementrian Agama. Pada tahun 1957 ,di Jakarta di dirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di pemerintahan (Kementrian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN dan ADIA disatukan menjadi IAIN.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Khusus untuk mengelola pedidikan agama yang diberikan ke sekolah-sekolah umum, maka pada bulan Desember 1946, dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan Pendidikan Agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada di bawah kementrian PP dan K. Selanjutnya Pendidikan Agama ini diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 Tahun 1950 pada Bab XII pasal 20Sementara itu pada Peraturan Bersama Mentri PP dan K dan Mentri Agama Nomor: 1432/kab.tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 Tanggal 20 januari 1951(Agama) diatur tentang Peraturan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah
Madarasah sebagai penyelenggara pendidikan di akui secara formal pada tahun 1950.UU No.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa “belajar di sekolah agama telah mendapat pengakuan dari Departemen agama dan sudah di anggap memenuhi kewajiban belajar”. Untuk mendapat pengakuan dari departemen agama,madarasah harus memberikan mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling tidak 6 jam dalam seminggu.









DAFTAR PUSTAKA

Mustafa, I.A.  & Aly. Abdullah. 1998. SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA. Bandung: CV Pustaka Setia
Proyek Pembinaan Kerukunan hidup Beragama Depag RI. Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. (Jakarta, 1983/1984).
Zulhandra, 2013. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Hidakarya.





[1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia  (Jakarta: Hidakarya, 1985), hal. 6.
[2] Zulhandra, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, Cet. Ke-5, 2013), hal. 341.
[3] Ibid, hal. 89.
[4] Proyek Pembinaan Kerukunan hidup Beragama Depag RI. Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. (Jakarta, 1983/1984), hal. 4.
[5] Drs I. A. Mustafa & Drs. Abdullah Aly, SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hal. 131.
[6] Ibid, hal. 135
[7] Buku Bahan Penataran P.4.

Logo RA Perwanida VIII